Menurut babad timbul Sukawati, bahwa sekitar abad XVIII, adalah seorang bernama Ki Balian Batur, Ia bersama anak istrinya bertempat tinggal di pesisir pantai di sebut Karang Kedangkan (kini desa Rangkan). Ki Balian Batur bersama istrinya dan semua anaknya dikenal sebagai penganut ilmu hitam (Ngliyak).
Pada suatu hari salah seorang anaknya bernama Ni Made Wali menjual nasi dengan lauk pauk lawar, sate dan sejenisnya, di sebuah sabungan ayam (tajen) di desa Cau sebelah timur desa Rangkan. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang berpura-pura mabuk mengatakan lawar yang dijual Made Wali itu adalah lawar daging orang. Mereka yang mendengar kata-kata itu semua pergi tidak jadi membeli nasi pada Made Wali. Made Wali malu dan bersedih hati, lalu segera pulang mengadukan hal itu kepada ayah dan ibunya. Ki Balian Batur dan istrinya amat marah dan bersepakat akan mengancurkan desa Cau dan membunuh semua penduduknya dengan kesaktian ilmu hitamnya.
Benarlah, tidak selang beberapa lama penduduk desa Cau terkena wabah penyakit menular (Grubug), sehingga banyak yang meninggal. Hal itu dilaporkan kepada Ida Cokorde Sakti Belambangan Raja Mengwi, oleh pemuka desa. Raja Mengwi marah, lalu menghimpun para penganut ilmu hitam Mengwi untuk menyerang Ki Balian Batur di Karang Kedangkan. Pada suatu malam gelap bulan terjadilah peperangan penganut ilmu hitam Mengwi melawan penganut ilmu hitam Karang Kedangkan, yang akhirnya kekalahan ada di pihak Mengwi.
Mengethaui hal itu raja memerintahkan menyerang Ki Balian Batur dengan kekuatan Senjata, dibawah pimpinan Bendesa Sukra. Namun laskar kerajaan Mengwi mejnemui kekalahan lagi. Karena mabuk kemenangan KI Balian Batur bersorak terkebur, serta mengatakan ia tidak terkalahkan oleh senjata apapun da ilmu apapun juga kecuali senjata milik Raja Klungkung yang disebut Ki Seliksik Narantaka. Hal itu dilaporkan kepada raja oleh KI Bendesa Sukra, serta berlanjut agar Ki Raja Mengwi meminjamkan sebjata pemungksa itu kepada raja Klungkung. Tetapi raja Mengwi keberatan mengingat hubungan Mengwi dan Klungkung tidak serasi akibat percekcokan pendahulu-pendahuluya kerajaan dahulu. KI bendesa Sukra bersikeras agar raja Mengwi melakukan hal itu, demi kepentingan rakyat banyak. Akhirnya raja setuju.
Atas permohonan raja Mengwi, Raja Klungkung berkenan meminjamkan Ki Selisik Narantaka, yang akan dilaksanakan oleh putra bungsu beliau bernama Dewa Agung Anom Sirikan. Singkat cerita, dikisahkan Ki Balian Batur gugur dalam peperangan akibat tuahnya Ki Selisik Narantaka. Sebagai ungkapan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Parama Kawi, Raja Mengwi membangun sebuah pura di Karang Kedangkan disebut Urya Kusuma dan kepada Bendesa Sukra diberi gelar Ki Bendesa Gumiyar dan hadiah harta benda lainnya, bersama laskarnya yang masih hidup. Yang gugur jenasahnya diupacarai sepatutnya.
Sebagai wujud rasa terima kasih dan atas perkenan raja Klungkung Dewa Anak Anon Sirikan dibuatkan puri di kawasan Timbul oleh raja Megwi, serta tempat persembayangan disebut Pura Penataran Agung, yang disungsung oleh raja dan senegap rakyatnya. Lama kelamaan semakin banyak pedagang (Pengalu) menetap di kawasan Timbul. Semua mereka mengatakan suka hatinya tinggal disana. Lama kelamaan kawasan Timbul berubah menjadi Sukahati, yang kemudian sesuai hukum bahasa, berubah menjadi Sukawati hingga sekarang. Selanjutnya Dewa Agung Anom Sirikan dinobatkan menjadi Raja Sukawati, batas sebelah sungai pekerisan, sebelah barat sungai Ayung membujur dari pantai selatan hingga tepi danau Batur. Kini ibu kota kerajaan menjadi desa Sukawati.
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Post a Comment