20 February 2010

Cerita dari Tenggara Timur

Di suatu pagi yang cerah seorang petai memeriksa kebunnya. Namun betapa terkejutnya petani itu ketika melihat kebunnya telah diobrak-abrik kawanan babi hutan, yang membuat petani itu merasa heran pagar kokoh dan tinggi yang melindungi kebun itu tak mengalami kerusakan apapun. Hal itu membuat hati petani itu penasaran. Ia belum merasa yakin bahwa kawanan babi yang merusak kebunnya. Oleh karena itu ia memutuskan untuk menjaga kebunnya secara serius. Sejak malam itu ia tinggal di kebunnya. Ia mengawasinya dari atas pohon. Petani itu membawa senjata tombak sakti yang bernama Numbu Ranggata dan sebilah parang yang sangat tajam. Pada malam ketiga dari kejauhan petani itu mendengar suara kawanan babi hutan yang datang menuju kebunnya.

Ketika kwanan babi itu mulai memakan umbi-umbi keladi persis di bawah pohon yang ia tempati dengan hati-hati petani itu melemparkan tombaknya dan tepat mengenai babi yang paling besar. Tombak itu mengenai isi perut sebelah kanan dan tepat tertancap bersama menghilangnya kawanan babi itu. Pagi harinya petani itu menyusuri jejak darah yang tercecer sampai ke tepi pantai. Ternyata ceceran darah itu hilang sampai di ujung air laut. Timbul keresahan dalam hati petani itu. Tombak keramat yang ia gunakan untuk menikam babi itu adalah milik pamannya. Sementara itu, ia merasa heran mengapa babi-babi itu seolah-olah menghilang di tepi pantai. Pada saat petani itu masih termangu-mangu, muncullah dari dalam air laut seekor penyu raksasa. “Mengapa kau termenung, Saudaraku….”Tanya penyu itu yang dapat berbicara bahasa manusia. Petani itu menjadi terkejut, namun kemudian ia menjawab. “Aku menghadapi suatu masalah. Antara terus menelusuri jejak percikan darah babi yang kutombak atau kembali dengan resiko dikutuk leluhur karena tombakku hilang bersama babi yang tertikam.” “Oo, demikian persoalannya. Jika begitu kau harus memperoleh keduanya. Babi dan tombakmu,” kata penyu. Si petani pun kemudian meminta bantuan penyu untuk mencari babi yang terluka itu. Dan dengan senang hati penyu bersedia membantu. Dengan menunggang punggung penyu petani itu menyebrang laut. Setelah dua hari dua malam, mereka khirnya sampai di darat pulau seberang. Sebelum berpisah, si penyu berpesan. “Aku tetap setiap pada persahabatan kita ini. Kapan saja kamu membutuhkan pertolongan, dengan ikhlas hati aku akan menolongmu”. Di pantai yang baru, si petani itu menemukan sebuah pondok.dalam pondok itu tinggallah seorang nenek. Dari keterangan nenek itu ia mengetahui bahwa babi yang dicari sesungguhnya adalah babi jadi-jadian. “Mereka adalah sekelompok manusia yang mempunyai ilmu gain dan mempunyai tiga buah batu ajaib yang bernama Watu Waladong. Dari batu-batu itu bersumber untuk menciptakan air dan menghasilkan tiga jenis makanan berupa padi, jagung dna jewawut,” kata nenek itu. Kemudian ia melatih si petani dengan beberapa jurus ilmu kesaktian. Dengan bekal beberapapetunjuk dan nasihat yang disampaikan nenek itu, kemudian si petani pergi menuju perkampungan sesuai petunjuk yang diberikan kepadanya. Ternyata petani itu dapat diterima oleh warga perkampungan itu. Ia pun telah mendapat pekerjaan. Pada malam yang ketiga, petani itu mendengar percakapan dari majikan tempat ia bekerja, bahwa pimpinan suku mereka sedang menderita penyakit perut yang parah. Mendengar percakapan itu, si petani memberanikan diri untuk mencoba mengobati penyakit kepala suku. Keesokan harinya, ia diperkenalkan oleh majikannya kepada keluarga kepala suku. Kemudian ia juga diijinkan untuk memeriksa kepala suku itu. Apakah bapak tertikam oleh sebilah tombak?” Tanya petani kepada kepala suku itu. Pertanyaan itu menimbulkan rasa heran kepala suku. Petani itu dianggap berbeda dengan dukun-dukun yang lain, selalu salah dalam mengalisa penyakitnya. Berdasarkan kepercayaan itu, kepala suku kemudian menceritakan mengapa perutnya menjadi sakit. “Jika kamu mengobatiku dan nanti aku menjadi sembuh, aku berjanji akan mengabulkan semua permintaanmu,” kata kepala suku itu. “Penyakit bapak bisa disembuhkan. Yang terpenting, saya harus mencabut tombak itu. Dan tombak itu harus dibuang ke laut lepas. Setelah itu, baru diobati dengan ramuan daun-daunan yang tumbuh di pesisir pantai,” kata petani mencoba meyakinkan. Kepala suku dengan keluarganya menyetujui usul petani itu. Oleh karenanya, keesokan harinya di petani ke pesisir pantai. Ia menceritakan apa yang dialaminya kepada si nenek dan juga ia meminta saran kira-kira ramuan apa yang cocok untuk menyembuhkan luka kepala suku itu. Nenek itu menasehati si petani agar membuat tombak tiruan dari bamboo. Tombak itulah yang nantinya dibuang ke laut, masalah ramuan, tidak ada persoalan. Di peta bisa mengambil ramuan yang telah ia buat. Setelah persiapannya matang, si petani kembali ke perkampungan kepala suku yang sakit itu. Berdasarkan saran si nenek, ia pun menggosok ramuan penahan sakit pada perut si kepala suku. Kemudian ia memanaskan pisau kecinya. Setelah itu dengan hati-hati ia membedah perut sang kepala suku. Seminggu kemudian, penyakit sang kepala suku sembuh. Seluruh warga perkampungan berunding untuk membalas budi si petani. Dalam pertemuan itu ada yang mengusulkan agar si petani diberikan sejumlah harta berupa perhiasan emas, hewan-hewan dan sebidang tanah yang luas. Melalui majikannya, si petani itu tahu bahwa warga perkampungan akan membalas budinya yang telah menyembuhkan kepala suku mereka. Ia akan memperoleh sejumlah batang emas dan harta lain. Mendengar itu, si petani teringat saran nenek, tentang keajaiban tiga batu keramat milik suku dari perkampungan itu. Melalui majikannya ia mengatakan, “kalau memang ingin membalas kebaikan saja, saya akan meminta bibit pai, jagung dan jewawut.” Permintaan yang tidak disangka-sangka ini menimbulkan rasa curiga dari sang kepala suku terhadap sang petani Sumba itu. Sang kepala suku pun bertanya, “Apakah bibit padi, jagung dan jewawut dalam arti yang sebenarnya atau dalam arti kiasan?’ “Kalau bapak berkenan, kiranya saya dapat memperoleh bibit-bibit itu dalam arti yang kedua,” jawab di petani. “Permintaan mu amat berat. Izinkanlah saya untuk berunding dengan seluruh warga suku saya. Hasil keputusannya nanti saya sampaikan. Mungkin akan ada persyaratan yang harus kamu penuhi sebelum kamu memperoleh batu pusaka kami, yang kami sebut Watu Maladong”. “apa pun persyaratannya, saya berusaha memenuhinya. Saya ingin daerah kami mempunyai sumber air yang cukup dan bahan makanan yang baru seperti padi, jagung dan jewawut.” Akhirnya, seluruh warga perkampungan itu menyetujui permintaan si petani. Dengan syarat, si petani harus terlebih dahulu mengadu kesaktian antar suku. Setelah mendengar persyaratan itu, si petani kembali ke tepi pantai menemui nenek yang baik budi. Ia menceritakan bahwa Watu Maladong hanya mungkin diboyong setelah diadakan adu kesaktian. Nenek mengatakan, “Puncak kesaktian mereka adalah mampu mengguncangkan bumi. Cara menjinakkan kekuatan itu adalah berusaha menyatu bersama kekuatan bumi dengan posisi berbaring di tanah. Tidak usah cemas terhadap guncangan itu.” Kata si nenek. “Namun,” lanjut nenek, “sebelum kamu bertanding, sebaiknya kamu kembali ke tanah Sumba. Ceritakan semua kepada pamanmu. Mintalah kepada tenaga sakti yang terkandung dalam tombak pusaka itu. Karena sampai sekarang, hanya tombak saktimu yang bisa melukai dan hamir merenggut napas sang kepala suku yang engkau obati itu.” Dengan bantuan penyu, si petani itu kembali ke daratan Sumba. Ia menemui pamannya dan menceritakan semua yang ia alami. Ia juga meminta pamannya untuk mengalihkan tenaga sakti Tombak Numbu Ranggata ke dalam dirinya. Pamannya tidak berkeberatan. Atas restu Ina Magholo Ama Marawi (yang diyakini sebagai Ibu Pencipta-Bapak Pembuat) dan sumber kekuatan langit dalam wujud Guntur-Kilat, si petani diberikan tenaga sakti dari Tombak Numbu Ranggata. Setelah semuanya disiapkan, kembalilah si petani ke daerah seberang. Dengan kekuatan yang ada, si petani menuju perkampungan sang kepala suku. Ia langsung menuju rumah adat yang yang didiami sang kepala suku. Setelah beruding dengan sang kepala syuku, mereka memutuskanm untuk adu kesaktian pada hari yang ketiga pada saat matahari terbenam. Acara itu dilangsungkan di sebuah lapangan rumput di luar kampung. Pada hari yang ditentukan, dengan diterangi oleh api unggun di keempat penjuru mata angin, terjadilah pertarungan tenaga sakti antara di petani dan panglima perang dari suku itu. Panglima perang diberi kesempatan terlebih dahulu untuk menyerang. Si petani memperhatikan setiap gerak-geriknya. Rupanya ia langsung menggunakan jurus pemungkas khas dari suku itu, yaitu jurus mengguncang bumi. Si petani segera menjatuhkan tubuhnya ke bumi. Ia menyatu dengan bumi dengan posisi terlentang. Si petani merasa tanah seolah terbelah. Tubuhnya pelan-pelan mulai terbenam. Kepalanya terasa pusig dna perutnya mual akibat guncangan yang dasyat itu. Timbul rasa takut dalam dirinya. Setengah setengah jam, si petani merasakan guncangan bumi mulai melemah. Napasnya kembali normal, rasa pusing dna mualnya mulai menghilang. Ia bangun dan berdiri tegar, tak kurang suatu apa. Kini tiba gilirannya untuk menunjukkan kesaktiannya. Ia memusatkan perhatian pada Ina Magholo –Arma Marawi dalam wujud Guntur-Kilat. Tiba-tiba terdengar bunyi guntursamudra dan sambaran kilat yang menyilaukan mata. Detik berikutnya terdengar pula teriakan memilukan dari lawannya. Lawannya hangus disambar kilat. Seluruh warga perkampungan tanah seberang mengakui keunggulan si petani Sumba. Begitu pun sang kepala sukunya. Sesuai dengan kesepakatan, si petani berhak membawa Watu Maladong. Keesokan harinya, ketiga batu yang bernama Watu Maladong itu diserashkan secara resmi melalui sebuah upacara adat. Kepala suku berkata, “batu ini ada tiga buah. Dua buah berjenis kelamin pria, yang akan mencurahkan sumber makanan berupa padi dan jagung. Satunya berjenis kelamin wanita, yang akan mencurahkan sumber makanan berupa jewawut. Ketiga batu ini dapat bergerak sendiri. Ia akan mengikuti kepada siapa yang ia layani. Kemunculannya di atas permukaan tanah Sumba kelak, akan menyemburkan sumber air tanah yang tak akan pernah berkesudahan”. Sesuatu yang menakjubkan terjadi. Watu Maladong menjadi ringan di tangan di petani. Sesuatu yang mengisyaratkan bahwa Watu Maladong siap untuk melayai kebutuhan majikannya yang baru. Akhirnya, Watu Maladong diboyong ke tanah Sumba, khususnya ke wilayah Sumba Barat, tempat asal si petani. Setelah berpamitan dengan nenek yang baik budi, Watu Maladong dibiarkan untuk berjalan sendiri mengikuti dia ke bibir pantai. Timbul kesulitan bagaimana membawa ketiga batu itu kedalam posisinya di atas ounggung penyu yang harus berpegang erat. Ia pun meminta ketiga batu itu menemuh jalan bawah laut. Ketiga batu itu pun pelan-pelan terbenam ke bumi dan melenyap. Ketiga batu itu tiba lebih dulu dari si petani di pantai Sumba Baratyang dewasa ini terletak di pantai Katawel. Atas permintaan si petani, ketiga batu segera menjelajahi wilayah baru itu untuk pengadaan sumber air. Mata air pertama adalah mata air Nyira Lele di wilayah Tambolaka. Mata air kedua adalah mata air Weetebula di wilayah Weetubula, kemudian mata air Wee Muu yang dewasa ini terletak di perbatasan daerah Wewewa Barat dan Wewewa Timur. Mata air yang keempat adalah air Weekello Sawah di wilayah Wewewa Timur, yang muncul dari dalam gua alam yang bentuknya bagaikan mulut seekor ular naga. Semburan air yang jernih itu bagaikan juluran lidah yang bercahaya. Si petani sakti itu merasa cukup untuk pengadaan sumber air, ia pun meminta ketiga batu kembali. Ketiga batu itu kemudian menelusuri Pegunungan Yawilla kembali ke Wewewa Barat melalui Sungai Paerdawa yang bersumber dari mata air Weekello Sawahdan bermuara di Tanjung Karaso di daerah Bondo Kodi. Di daerah ini ketiga baru itu melepaskan lelah. Ketiga batu itu memilih untuk menetap di wilayah ini. Batu menganugrahkan bbit jagung tinggal di darat, sedangkan dua batu yang lain, yang menganugerahkan bibit padi dan jewawut memilih tinggal di samudra Hindia.

0 comments:

Post a Comment