23 February 2010

CINTA VS MATRE [CERPEN]

“Hey” teriakku pada seorang cowok tinggi yang berlalu di depan. “Dompet lho jatuh,” aku tertunduk mengambil dompat hitam itu di aspal lalu melambaikannya pada cowok itu. Tapi cowok itu tidak menoleh. Dia berjalan begitu cepat. Rupanya dia tidak menyadari dompetnya terjatuh dan tidak mendengarkan panggilanku. Kubuka, dompet itu, ada beberapa kartu kredit dan banyak lembaran uang seratus ribuan. Kuambil KTP yang terselip diantara kartu ATM. Ryandika Natra Berya. Uh, namanya keren banget ! Pikirku foto yang terpampangpun tak kalah keren dengan namanya. Sesuai celingukan mencari cowok itu. Dari kejauhan aku melihat dia sedang menunggu lift. Lantas aku berlari mengejarnya. “Dan ….dompet loe!” kataku dengan nafas agak tersengal-sengal mengejar cowok itu. Cowok itu mengerutkan dahinya, kemudian mengecek saku celananya. “Oh iya, punya gue! “Terima kasih ya! Memang tadi jatuhnya dimana ?” Aku menarik nafas panjang lalu mengembuskannya. Mencoba kembali menetralkan nafasku yang tersengal-sengal. Yah, begini nih kalau jagoan olah ragajadi nafasnya pendek. Nggak jauh dari halte situ!, jawabku kemudian seraya menunjuk arah halte berada. Dia tersenyum. “Hm, sekali lagi terima kasih lagi ya! Untung elo yang nemuin dompet gue, coba orang lain yang nggak jujur, pasti sudah lenyap deh dompet plus isinya”. Well lain kali hati-hati ya ! “Ups, gue Natra!” cowok itu memperkenalkan dirinya. Tangan kanannya terulur. Aku mengernyitkan dahik. Natra ? Sepertinya nama itu sangat familiar. Tapi aku lupa. Aku lantas menyambar sodoran tangannya. Lembut dan agak basah berkeringat. “Agnindia, panggil Ninidi aja”.

Sudah dua minggu ini aku berkomunikasi dengan Natra via telepon dan sms. Kami bertukar cerita satu sama lain. Entah kenapa dalam waktu yang sangat singkat aku merasa sangat nyambung ngobrol dengannnya seperti sudah kenal bertahun-tahun. Akhirnya akupun jadian dengan Natra. Malam ini Natra ngajakku jalan! Tanpa basa basi akupun menyanggupinya. Jam dinding rumah telah berdentang tujuh kali sepuluh menit yang lalu, tapi Natra belum juga menampakkan batang hidungnya. Saat angka menunjuk angka lima, baru terdengar bel pintu rumah dipencet. Aku menghampiri pintu dan melihat Natra di baliknya “kok baru datang?” “Ups, sory abis tadi busnya lama banget!” ujarnya memberi alasan yang membuat aku menelan air liur. Bus?? Ternyata Natra nggak bawa mobil! Naik taksi pun tidak! Yap, kami eprgi ke Mall naik bus! Sebenarnya agak kikuk karena pakai rok mini dan dandanan girly banget! Tapi naik bus!! Beberapa pasang mata berkali-kali tertuju pada aku dan Natra. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Tapi hal itu sangat membuatku kikuk. Menjadi perhatian orang banyak. Itu berlangsung tidak hanya sekali dua kali, tapi tiap kami pergi, Natra tidak pernah mengeluhkan materi untukku!!. Bayangkan, bayar saja sendiri-sendiri! Aku pun heran, baru kali ini menemukan cowok kaya dan cute tapi pelitnya nggak ketulungan! Keluar dari gerbang sekolah, aku tertunduk menuju halte bus. Dalam pikiranku berkecamuk antara putus atau tetap bersama Natra. Perang antara materialistisku dan cintaku bertarung hebat dalam kalbu. Pusing! Aku sampai mengirimkan e-mail sharing kesalah satu acara radio dengan memakai nama Ria. Aku harap masalahku dapat dipecahkan. Aku stanbay di dekat radio, mendengarkan acara sharing malam ini. Dan betapa terkejutnya aku, saat Rheno penyiar itu membacakan masalahku. Dia melemparkan masalahku pada pendengar solusi demi solusi berdatangan dan dibacakan satu persatu oleh Rheno. Ada juga penelpon yang membantuku untuk memecahkan masalahku. Yang menambah keterkejutanku saat itu adalah penelpon terakhir yang mencoba memberikan solusi adalah Natra!!! “Mungkin posisi cowoknya Ria itu mirip banget dengan posisi gue!” Masa sih?” ujar Rheno. Gue pikir di dunia ini cuma ada cowoknya Ria saja yang sampai sepelit itu! Btw, memang elo memperlakukan cewek loe gimana? Yah, sebenarnya dari awal gue bisa menangkap penilaian aneh cewek gue ke gue. “Deg! Jantungku berdegup. Gue maunya, cewek gue tulus, sayang apa adanya ke gue tanpa memandang materi yang gue miliki. O, gue meluncurkan aksi kepelitan demi kepelitan yang mungkin sama dengan cowoknya Ria, “jelas Natra. Aku menitikkan air mata. Merasa amat bersalah padanya. Padahal Ria itu adalah cewek yang mengeluh akan kepelitannya! Aku sepertinya bukan cewek yang ia inginkan. Karena materialistiskus telah menodai tulusnya sayangku padanya.
“Rheno, boleh nggak gue nitip omongan di sini buat cewek gue?” tanyanya pada penyiar. “Boleh, silahkan!” sahut Rheno. “Nindi, Natra mau minta maaf, selama ini mungkin aku membuat kamu kesel dan bertanya-tanya. Tapi Natra terpaksa melakukannya karena mau mencari cinta sejati. Dan itu sudah Natra dapatkan dari kamu. Natra sudah yakin akan ketulusan cinta kamu! Sekali lagi, Natra sayang kamu!! Malam ini aku diundang dipestanya Natra di rumahnya. Aku berpakaian serapi mungkin dan aku langsung berangkat kerumahnya. Sesampai di sana aku memasuki rumah yang megah, di situ aku lihat Natra dengan pakaian Tusedo tersenyum menatapku. Natra menghampiriku lalu menuntunku duduk di depan meja makan. Kami makan berdua dengan suasana romantis!....Nat, aku ...” aku mencoba untuk jujur namun berat sekali rasanya. Dengan hela nafas panjang akhirnya aku berhasil menceritakan semuanya. “Maaf, tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku sadar aku salah nggak terus terang ke kamu tapi di sisi lain aku nggak mau kamu kecewa sama aku ....Karena aku sayang banget sama kamu, “sahutku lirih dan meneteskan air mata.
“Cukup. Nggak perlu dibahas lagi ya?! Semua ini karena tindakku. Harusnya yang minta maaf saya, sayang? Aku juga sayang banget kok sama kamu. Serunya lantas mencium keningku.
Aku seperti terbang ke nirwana gapai pelangi yang selama ini hanya dapat kulihat keindahannya. Ternyata ketulusan cinta itu nggak hanya indah tapi menyenangkan meskipun banyak ganjalan merintang tapi toh akhirnya bahagia seperti kisah dongeng Cinderella yang tulus mencintai pangeran tanpa berkedok materi.

0 comments:

Post a Comment